Dokter spesialis gizi klinik lulusan Universitas Indonesia dr Karin Wiradarma, M Gizi, SpGK, mengungkapkan, hingga saat ini belum ada satu negara pun yang sudah melakukan uji bahaya bisfenol A (BPA) terhadap manusia. Menurut dia, yang berbahaya adalah BPA aktif. Sementara sebagian besar BPA yang masuk ke dalam tubuh manusia secara cepat akan dimetabolisme oleh hati menjadi BPA tidak aktif dan kehilangan efek endokrin atau estrogen yang ditakutkan.
“Hinggi kini belum ada satu negara pun yang sudah melakukan uji bahaya BPA terhadap manusia. Semua uji cobanya baru dilakukan terhadap hewan percobaan dan itupun secara in vitro dan itu tidak bisa dimaknai secara klinis langsung terhadap manusia karena metabolisme dan sel-selnya berbeda,” kata anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) itu, dikutip Ahad (17/12/2023).
Hal itu Karin sampaikan pada peluncuran buku ‘BPA’ yang diadakan di Jakarta belum lama ini. Pada kesempatan itu dia juga menjelaskan, beberapa studi di luar negeri menyebutkan, BPA diduga sebagai endokrin disruptor yang bisa mengganggu hormon estrogen yang bisa menyebabkan kanker ovarium, kanker payudara dan kanker prostat.
Tapi, menurut Karin, itu adalah BPA yang masih aktif. Sementara sebagian besar BPA yang masuk ke dalam tubuh manusia, kata dia, secara cepat akan dimetabolisme oleh hati menjadi BPA tidak aktif. Ketika menjadi BPA tidak aktif, maka tidak bisa lagi mengakibatkan efek endokrin ataupun estrogen seperti yang ditakutkan.
“Jadi, yang berbahaya itu adalah BPA aktif. Sementara, sebagian besar BPA yang masuk ke dalam tubuh manusia itu akan dimetabolisme di dalam hati menjadi tidak aktif dan akan dibuang melalui urin maupun feses,” jelas dia.
Menurut dokter spesialis gizi klinik itu, beberapa studi yang menyebutkan BPA telah menyebabkan gangguan perkembangan saraf anak juga diteliti menggunakan hewan percobaan. “Uji coba itu masih dilakukan terhadap hewan percobaan dan belum ke manusia. Itu tidak bisa dimaknai secara klinis langsung terhadap manusia karena metabolisme dan sel-selnya berbeda,” kata dia.
Begitu pula dengan studi lain di luar negeri yang menyebutkan bahwa BPA sebagai penyebab terjadinya obesitas dan penyakit kardiovaskular. Karin mengatakan itu juga masih menggunakan hewan percobaan. Dia menerangkan, studi tersebut menyebutkan, BPA memiliki efek yang sama seperti estrogen, dan bisa mempengaruhi sistem endokrin yang bisa mempengaruhi metabolisme gula.
Akibatnya, bisa terjadi resistensi insulin bahkan bisa membuat diabetes dan penyakit jantung pembuluh darah serta tekanan darah tinggi. Tapi, faktanya adalah tetap saja studi itu hanya dilakukan pada hewan coba maupun in vitro.
“Jadi, di laboratorium dan studi pada manusia sendiri masih terbatas, dan itu derajatnya masih studi observasional atau pengamatan. Studi tersebut juga dilakukan masih tidak seragam berdasarkan metodologinya. Kriteria eksklusinya dan skornya nilainya masih rendah karena masih belum seragam, sehingga belum dapat ditarik kesimpulan yang valid mengenai hubungan kausalitasnya,” kata Karin.
Dia menuturkan, untuk membuktikan BPA telah membahayakan kesehatan manusia atau bukan bisa dilakukan dengan studi Kohort, yang dilakukan terhadap manusia langsung. Studi itu dilakukan dengan peneliti mengikuti dari mulai terpapar hingga timbul penyakit dan semuanya.
“Tapi, kalau hanya mengamati saja tapi tidak melakukan eksperimen berikutnya yang lebih kuat lagi, itu belum bisa memastikan hubungan kausalitasnya,” ucap dia.
Tapi, lanjutnya, yang harus dilakukan untuk benar-benar bisa membuktikan BPA itu memang benar-benar berbahaya di dalam tubuh manusia adalah studi eksperimen. “Jadi, kita benar-benar melakukan percobaan, ada yang acak maupun yang tidak acak. Kalau acak tentunya akan lebih kuat karena tidak ada bias-biasnya,” ujar dia.
Dan yang paling tinggi lagi menurutnya adalah dengan melakukan critical appraisal. “Jadi, orang sudah melakukan penelitian dan kita mereview lagi atau mengkritisi kembali dari beberapa hal yang dinilai dari penelitian tersebut, apakah penelitian itu sahih, valid dan kuat,” jelas dia,
Karin juga menekankan, penggunaan BPA pada kemasan makanan masih dinyatakan aman oleh berbagai badan dunia, termasuk Indonesia. Mengenai efek negatif pada kesehatan yang selama ini sudah banyak isunya di masyarakat, menurutnya, itu belum terbukti kebenarannya.
“Karena, kita perlu melakukan penelitian lebih lanjut dengan desain lebih baik dan ideal untuk bisa menemukan hubungan kausalitasnya. Sampai saat ini memang belum ada penelitian dengan desain yang ideal dan kuat yang menemukan hubungan kausalitas tersebut. Sampai saat ini semua masih berupa penelitian di hewan coba maupun penelitian observasional,” jelas dia.rep