Dokter spesialis urologi dari Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Prof dr Chaidir Arif Mochtar, Sp.U(K), PhD mengatakan tumor pada ginjal berpotensi muncul atau tumbuh lagi walau sudah diangkat melalui operasi.
“Kemungkinan tumor ginjal diangkat tetapi muncul kembali, itu memang suatu risiko yang ada. Walau merasa sudah bersih. Penyebabnya bermacam-macam. Tentu, sel-sel tumor bukan yang mudah terlihat,” ujar dia dalam acara bertema “Kanker Ginjal Stadium Lokal dan Metastatic” yang digelar daring, Selasa.
Di sisi lain, pada pasien yang terpaksa harus diambil salah satu ginjalnya, maka masih ada harapan untuknya hidup lebih lama. Ini asalkan fungsi ginjal yang tersisa masih baik dan tak ada tumor yang tumbuh pada ginjalnya.
“Kalau misalnya ada sisa dan tumornya tumbuh lagi, akan membuat usia harapan hidup menjadi lebih pendek,” kata Chaidir.
Chaidir kemudian mengatakan faktor yang menentukan pasien penyakit ginjal hidup normal bukan tentang satu atau dua ginjal yang dia miliki, melainkan ada atau tidaknya penyakit diabetes dan hipertensi yang dialami. Kedua penyakit ini, yang menyebabkan pasien dengan masalah ginjal bisa mengalami gagal ginjal kronik atau menahun.
“Kalau sudah sampai stadium lima dari gagal ginjal tersebut, maka pengobatan yang terbaik adalah dilakukan transplantasi ginjal sehingga kita harus aware akan faktor-faktor yang bisa menyebabkan penyakit diabetes dan hipertensi,” kata dia.
Chaidir menuturkan meskipun pasien atau seseorang masih memiliki dua ginjal, namun bila dia memiliki diabetes dan hipertensi maka fungsi ginjalnya perlahan akan turun seiring waktu.
Dia lalu mengingatkan, agar seseorang tak sampai mengalami masalah ginjal apalagi gagal ginjal dan bahkan kanker ginjal, disarankan melakukan deteksi dini. Ini dikatakan suatu jalan satu-satunya untuk menurunkan mortalitas (angka kematian) maupun morbiditas (angka kesakitan) akibat kanker ginjal. mb
Harus Seberapa Sering Kita Mengepel Lantai Rumah?
Terlalu sering mengepel konon bisa merusak permukaan lantai. Tapi, lantai jarang dipel juga bukan hal yang bagus, karena kotor dan tidak sehat.
Lantas, harus seberapa sering kita mengepel lantai rumah?
Setiap orang pasti memiliki frekuensi menyapu dan mengepel yang berbeda. Hal ini tergantung pada berapa luas rumah dan bagaimana gaya hidup yang dijalani saat berada di rumah.
Kotoran akan selalu masuk ke dalam rumah. Dalam kondisi ini, mengepel adalah sesuatu yang wajib dilakukan.
Area dengan lalu lintas tinggi atau sering dilalui orang rumah harus sering dibersihkan. Misalnya di pintu masuk, dapur, kamar mandi, dan lorong rumah. Daerah ini adalah tempat-tempat yang harus dipel setiap minggu.
Umumnya disarankan untuk mengepel lantai 1-2 kali dalam seminggu. Tapi, Anda juga perlu mempertimbangkan jenis lantai. Setiap jenis lantai memiliki cara perawatan yang berbeda.
Untuk lebih jelasnya, berikut frekuensi mengepel lantai yang harus dilakukan, tergantung pada jenis lantai, lalu lintas atau aktivitas, hingga kebiasaan di rumah, mengutip Real Simple.
1. Lalu lintas di rumah
Area dengan lalu lintas atau mobilitas manusia yang cukup padat jadi tempat yang rentan kotor. Misalnya saja pintu masuk, dapur, hingga kamar mandi.
Keberadaan hewan di dalam rumah juga bisa memperbanyak debu yang masuk ke dalam. Dengan begitu, beberapa kali dalam sepekan atau bahkan setiap hari jadi pilihan yang baik.
2. Tipe lantai
Jenis lantai rumah bisa memengaruhi seberapa sering lantai harus dipel. Misalnya, ubin biasa memerlukan proses pel yang lebih sering dibandingkan dengan lantai kayu.
Bukan cuma karena kotoran yang mudah terlihat di ubin, tapi juga debu yang mudah menempel di garis pembatas antar-ubin. Sebaliknya, lantai kayu lebih tahan terhadap debu karena tertutup.
Selain itu, warna ubin yang terang dan gelap memerlukan jadwal mengepel yang lebih sering dibandingkan dengan warna sedang.
3. Kebiasaan di rumah
Gaya hidup dan kebiasaan juga dapat memengaruhi seberapa sering Anda perlu mengepel lantai. Misalnya, jika Anda memiliki hewan peliharaan atau cenderung memasukkan kotoran ke dalam rumah, maka lebih sering mengepel adalah hal yang masuk akal.
Beda halnya jika Anda sering bepergian atau jarang beraktivitas di rumah. Anda boleh-boleh saja jarang mengepel lantai. web
Stop Takut-takuti Anak dengan Dokter Gigi
Orang tua dinilai perlu menyempatkan waktu untuk mengedukasi anak tentang kesehatan gigi. Edukasi yang dimaksud bisa dengan mengajarkan menyikat gigi, maupun mengajak anak rutin ke dokter gigi.
“Mulai dari hal simpel seperti mengedukasi cara menyikat gigi yang benar, ajak ke dokter gigi. Sekali lagi jangan takuti anak ke dokter gigi karena itu yang akan membuat mindset (pola pikir) anak takut ketemu dokter gigi,” kata pendiri Maesa Dental Clinic drg Mahesa Uswa Eastyqoma, Ahad (26/11/2023).
Menurut dia, orang tua juga bisa memberikan pujian pada anak ketika bisa menyikat gigi dengan baik dan puji gigi anak yang bersih. Dengan begitu, anak akan terus menjaga giginya agar bersih dan sehat.
Edukasi terkait menggosok gigi sebelum tidur bisa dilakukan selama satu-dua bulan agar terus tertanam di otak anak. Secara langsung anak akan terbiasa dengan kegiatan yang berhubungan dengan kebersihan mulut dan gigi.
“Dilakukan secara konsisten sedikit, butuh satu sampai dua bulan karena setelah itu anak akan terekam dan terbiasa,” kata dokter lulusan Universitas Moestopo (Beragama) itu.
Upaya lain dalam menjaga kesehatan gigi anak adalah dengan rutin datang ke dokter gigi setiap enam bulan sekali. Tujuannya, untuk mendapatkan perawatan lapisan pelindung gigi yang bisa mencegah gigi mudah berlubang.
Jika sudah menginjak usia 7 atau 8 tahun, tindakan preventif lainnya adalah dengan mengaplikasikan pit and fissure sealent, yaitu lapisan pada gigi geraham untuk bisa terhindar dari gigi berlubang. Selain itu, diperlukan juga scaling atau membersihkan gigi.
Dia juga mengingatkan orang tua untuk datang ke dokter justru pada saat gigi anak sehat dan jangan menunggu sakit. “Jadi ketemu dokter gigi jangan dalam keadaan sakit nanti anak bete, kalau ketemu dokter gigi dalam keadaan sehat pasti happy. Jadi, anak tidak takut ke dokter gigi,” kata Maesa.ant