BANJARMASIN – Kabid Bina Marga pada Dinas PUPR Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) Abraham Riadi, mengaku kapok atas kasus dugaan korupsi fee proyek di daerah tersebut. Hal ini diungkapkannya di depan persidangan Pengadilan Tipikor Banjarmasin saat menjadi saksi, Rabu (23/2).
Ketika ditanya majelis hakim yang dipimpin Jamser Simanjuntak SH MH, apakah tahun 2022 ini masih ada komitmen fee proyek yang terjadi di Kabupaten HSU, ia dengan lantang menjawab tidak ada. “Tidak ada dan saya sudah kapok. Saya pasrah saja dengan pemerintah,” ucapnya.
Abraham Riadi yang saat itu menjabat sebagai Kepala Seksi di bidang Cipta Karya di PUPRP Kabupaten HSU mengatakan, dirinya pernah dipanggil Bupati Abdul Wahid untuk membicarakan anggaran perubahan, yang sekaligus menyampaikan permintaan agar siapa pun pemenang tender, harus menyediakan fee sebesar 13 persen dan penyerahannya langsung berurusan dengan Abdul Wahid.
Menurutnya, besaran fee 10 persen jika proyek bersumber APBD murni. Namun, fee akan naik menjadi 13 persen jika kegiatan didanai APBD perubahan. “Sekali lagi, itu bukan atas perintah Plt Kadis PUPRP HSU, tapi Bupati Abdul Wahid,” katanya.
Terkait plotting proyek di Bidang Cipta Karya PUPRP HSU, ia menyebutkan semua atas perintah Bupati Wahid. “Makanya, saya tulis pakai pulpen untuk pemenang tender proyek Cipta Karya. Semua itu atas perintah bupati,” ujarnya.
Begitu ditetapkan pemenang tender proyek bersumber dari APBD HSU, Abraham pun memanggil para kontraktor atau penyedia jasa, hingga diperintahkan membayar fee 10 hingga 13 persen.
“Semua atas perintah bupati. Kalau misalkan perusahaan atau kontraktor tak bisa bayar fee, jangan harap dapat proyek. Perusahannya dicoret dari daftar pemenang,” katanya.
Sementara Abdul Latif, mantan ajudan Bupati HSU Abdul Wahid, mengaku kalau ia sering disuruh bupati menemui terdakwa Maliki selaku Plt Kepala Diunas PUPRP Kabupaten HSU.
Setelah bertemu, terdakwa langsung menyerahkan bungkusan berisi uang, yang jumlahnya tidak diketahui olehnya. Selain itu, ia juga pernah menerima bungkusan yang berisi uang dari saksi Mujib Rianto.
Hal tersebut dibenarkan oleh Mujib Rianto yang juga dihadirkan pada sidang tersebut. Menurutnya jumlah uang Rp 2 miliar lebih tersebut dibungkus dalam dua kotak bekas kemasan mie dan air mineral.
Seperti diberitakan, terungkap setiap proyek yang dikerjakan pengusaha atau kontraktor di daerah Kabupaten HSU terdapat fee mulai 10 hingga 15 persen, yang merupakan komitmen setiap pengusaha memenangkan tender dan mengerjakan proyek atas permintaan Bupati HSU Abdul Wahid.
Dalam dakwaanya disebutkan, terdakwa Maliki telah menerima uang dari Direktur CV Hanamas Marhaini sebesar Rp 300 juta, dan Direktur CV Kalpataru Fahriadi sebesar Rp 240 juta.
Pemberian tersebut terkait dua proyek sumber daya air agar kedua perusahaan tersebut dapat mengerjakannya. Pembayarannya pun dilakukan secara bertahap.
Kedua pimpinan perusahaan yang disidang secara terpisah ini terpaksa menyetujui pemberian fee agar memperoleh pekerjaan.
Proyek yang dikerjakan di tahun 2021 tersebut, di antaranya pekerjaan rehabilitasi jaringan irigasi daerah irigasi rawa (DIR) Kayakah, Desa Kayakah, Kecamatan Amuntai Selatan, dengan nilai pagu Rp 2 M yang dikerjakan CV Hanamas.
Sementara CV Kalpataru ditunjuk sebagai pemenang pekerjaan DIR di Banjang dengan nilai pekerjaan sebesar Rp 1.555.503.400. ris/mb